Namaku Elina. Lima belas tahun lalu aku dilahirkan. Tepatnya pada tanggal 18 Februari 2003. Aku seorang anak tunggal dan serin...

Autobiografi


           Namaku Elina. Lima belas tahun lalu aku dilahirkan. Tepatnya pada tanggal 18 Februari 2003. Aku seorang anak tunggal dan sering kali sakit hingga opname berhari-hari saat bayi. Mama dan papa adalah dua orang terhebat yang pernah kutemui. Aku pernah mengalami Step saat bayi, tetapi Allah memberikan jalan keluar dan alhamdulillah tidak pernah kambuh sampai saat ini.


          Menginjak TK. Aku merayakan ulangtahun ke empat. Saat itu masih tinggal di kost. Kost-kostan penuh dengan teman-teman yang datang membawa kado bersama orangtua mereka. Saudara dari luar kota pun datang ikut merayakan. Hari tu benar-benar diabadikan. Selain tersimpan rapi dalam album foto, ingatan itu masih terekam jelas di memori otakku. Saat aku meniup lilin yang berebentuk angka empat, mama dan papa yang mencium kedua pipiku secara bersamaan, tepuk tangan meriah dari teman-teman, menyanyi, berfoto, berpelukan, dan membuka kado. 


          Aku masih mengingatnya pula, mama yang selalu mengantar dan menjemputku sekolah setiap hari. Mama yang memboncengku dengan sepeda dan mengayuhnya dengan senang hati. Saat itu aku belum mengerti betapa banyak kasih sayang yang sudah mereka berikan. Sampai suatu peristiwa terjadi, yang membuat aku memahaminya.


          Di bangku SD, tepatnya kelas empat. Mama mengatakan kalau aku akan segera memiliki adik. Aku susah payah menahan senyum agar tidak berekspresi terlalu banyak saat mama mengatakan itu. Asal mama tahu, aku selalu melihat ke arah perutnya setiap hari. Saat pagi hari sebelum belanja, saat mama lewat di depanku, saat beliau tidur. Aku selalu mengamati perutnya, berharap kalau aku dapat segera melihat adikku lahir. Perut mama belum membuncit, artinya masih hamil muda, tetapi akau sudah se-excited itu. Aku selalu melihat teman-teman yang tidak pernah merasa kesepian karena bermain dengan adiknya, tidur dengan adiknya, makan dengan adiknya, dan itu semua terlihat menyenangkan, aku tidak sabar! Tetapi nyatanya, Allah berkehendak lain.


          Saat itu siang hari, aku sedang bermain di rumah teman yang letaknya di seberang rumah. Saat pulang ke rumah--bukan di kost, kami sekeluarga sudah pindah ke kontrakan yang lebih luas--aku hanya menjumpai nenek. Ia bilang kalau mama sedang ada di rumah sakit, dan papa ikut mengantar mama, padahal perut mama belum membuncit. Aku menelpon papa. Mama baik-baik saja, aku tidak perlu khawatir dan hanya perlu berdoa, itu yang papa katakan. Tentu saja aku tidak percaya, ini sudah lewat berjam-jam sejak mereka pergi ke rumah sakit. Aku berusaha menahan isakan, karena seingatku, mereka tidak pernah melihatku menangis. Nenek yang menenangkan dan membujukku agar aku tidak menangis dan mendoakan yang terbaik untuk mama.


          Semenjak mama pulang ke rumah, ia lebih banyak tidur, istirahat, dan minum obat. Sudah tidak ada calon adikku di perutnya, mama keguguran dan aku tetap menjadi seorang anak tunggal. Aku mencoba untuk mengerti dan memercayakan segalanya pada Allah untuk kebaikan mama.


          Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Aku mulai tumbuh remaja, memulai pengalaman baru. Memasuki SMP, kami sekeluarga sudah pindah ke rumah kami yang baru. Meskipun lebih sederhana dari pada sebelumnya, kami sudah sangat bersyukur memiliki rumah sendiri. Aku menjadi siswa di salah satu SMP Negeri di Surabaya dengan nilai ujian SD yang cukup memuaskan, alhamdulillah dan membuat kedua orangtuaku tersenyum bangga.


          Aku memiliki mekreka, sahabat-sabat yang baik semasa SMP. Mereka yang selalu bersamaku dan aku menyayangi mereka.


          Menjelang UNBK SMP, kelas Sembilan. Papa selalu mendorong semangatku, memberiku motivasi agar sukses menjalani ujian. Aku berusaha yang terbaik. Berusaha meningkatkan belajar dan mengurangi bermain gadget meskipun sulit. Hingga tiba hari pengumuman. Aku benar-benar bersyukur dapat memperoleh nilai ujian yang cukup baik meskipun masih banyak yang berada di atasku. Melihat orangtuaku tersenyum sudah membuat aku bahagia lebih dari cukup.


          Orangtuaku tidak pernah memaksaku dalam memilih sekolah. Terutama papa, ia yang selalu memberiku saran dan dorongan untuk kedepannya. Aku menyukai IPS sejak SMP, terutama sejarah dan geografi. Mama dan papa tidak pernah memaksaku untuk ke IPA. Mereka sangat menghargai keputusanku untuk memilih IPS dan masih sangat mendukungku hingga saat ini aku menjadi siswa di salah satu SMA Negeri di Surabaya. Hanya saja, aku merasa kecewa ketika melihat reaksi beberapa teman saat tahu kalau aku masuk jurusan IPS. Aku terus berdoa semoga merasa nyaman di lingkungan baru.


***

Pentingnya belajar sejarah: 
Pentingnya belajar sejarah bagi saya adalah kita dapat belajar dari peristiwa yang sudah pernah terjadi sebelumnya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama, sehingga membantu kita menjadi orang yang lebih bijak dalam menghadapi masalah yang sedang di hadapi maupun masalah yang akan datang.

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca!

0 komentar: